ASUHAN KEPERAWATAN FEBRIS
COMPULSIVE
1.
Definisi
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok
neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak,
sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah bangkitan kejang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan
oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam
tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak
pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
2.
Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak,
meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat
gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral.
Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).
a. Intrakranial
§
Asfiksia : Ensefolopati hipoksik –
iskemik
§
Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid,
subdural, atau intra ventricular
§
Infeksi : Bakteri, virus, parasit
§
Kelainan bawaan : disgenesis korteks
serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.
b. Ekstra
cranial
§
Gangguan metabolik : Hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K)
§
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal,
sindrom putus obat.
§
Kelainan yang diturunkan : gangguan
metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.
c. Idiopatik
Kejang
neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
3.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup
sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku
untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah
oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system
kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon
dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan
diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi
dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat
diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang
datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena
penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh
tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di
ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya
lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan
terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit
biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi
otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis.
4.
Manifestasi
klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi
dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat,
yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis,
otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi
pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang
manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
Untuk
itu Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan
yaitu :
a.
Kejang demam sederhana (simple fibrile
convulsion)
b. Epilepsi
yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria
Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
a. Umur
anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun
b. Kejang
berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.
c. Kejang
bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali
d. Kejang
timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
e. Pemeriksaan
saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan
EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan.
5.
Klasifikasi
kejang
Kejang yang merupakan pergerakan
abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi
3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang
Tonik
Kejang
ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan
masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat.
Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan
dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus
b. Kejang
Klonik
Kejang
Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung
1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan
biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh
kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh
ensepalopati metabolic.
c. Kejang
Mioklonik
Gambaran
klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai
reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang
luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
6.
Diagnosa
banding kejang pada anak
a. Gemetar
Gemetar
merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama
bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal
dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas
neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar
adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama,
kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik.
b. Apnea
Pada
BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik
dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan
tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan,
warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan
apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur,
kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan
apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya
perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG
perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah
apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai
bradikardia.
c. Mioklonus
Nokturnal Benigna
Gerakan
terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur.
Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari
persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung
lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau
mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan
gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan
pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan.
7.
Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan
kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf
pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih
lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :
a. Mengawasi
bayi dengan teliti dan hati-hati
b. Memonitor
pernafasan dan denyut jantung
c. Usahakan
suhu tetap stabil
d. Perlu
dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain
e. Pemeriksaan
EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan
terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri
larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan
kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara
intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung
karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai
kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 %
sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan
pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB
(IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia
sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat
dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak
dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah
Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan
memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia
dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2
dosis selama 20 menit.
Banyak penulis tidak atau jarang
menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan
a. Efek
diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya
b. Pemberian
bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
c. Zat
pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan
bilirubin dalam darah.
8.
Pemeriksaan
fisik dan laboratorium
a. Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini
dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :
§
Usahakan lihat sendiri manifestasi
kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau
kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
§ Kesadaran
tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas,
kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan
intraventikular.
§ Pada
kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun,
perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang
disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
§ Terdapatnya
stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin
disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
§ Pemeriksaan
fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang
merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya
korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di
retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
§ Transluminasi
kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
§ Pemeriksaan
umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung,
yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
b. Pemeriksaan
laboratorium
Perlu
diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara
dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap
pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.
Selain
itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
§
Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan
Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau
pendarahan intraventikuler.
§ Pemeriksaan
gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas
darah.
§ Fungsi
lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan
serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan
supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi
terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah
pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal.
§ Pemeriksaan
EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia.
§ Pemeriksaan
EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk
menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar
belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust
supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya
12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG
dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi
prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
§ Bila
terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis
yang pasti yaitu mencakup :
·
Periksaan urin untuk asam amino dan asam
organik.
·
Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk
toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
·
Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar
kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku.
·
USG kepala untuk mendeteksi adanya
perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular
·
Penataan kepala untuk mengetahui adanya
infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak
·
Top coba subdural, dilakukan sesudah
pungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang,
membenjol dan kepala membesar.
Ø ASUHAN KEPERAWATAN
a.
Pengkajian
Yang paling penting peran perawat selama pasien
kejang adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode
kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ),
motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus
didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.
Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk
mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa
meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.
1. Aktivitas
/ istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter
2. Sirkulasi
: peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan
penurunan nadi dan pernafasan
3. Integritas
ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan, peka rangsangan.
4. Eliminasi
: inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5. Makanan
/ cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi
6. Neurosensor
: aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
7. Riwayat
jatuh / trauma
b.
Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul
1. Resiko
tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan
koordinasi otot.
2. Resiko
tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3. Resiko
kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
4. Kerusakan
mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
5. Kurang
pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
b.
Intervensi
1. Diagnosa
1: Resiko
tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan
koordinasi otot.
Tujuan: Cidera
/ trauma tidak terjadi
Kriteria hasil: Faktor penyebab diketahui,
mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan
Intervensi:
·
Kaji dengan keluarga berbagai stimulus
pencetus kejang.
·
Observasi keadaan umum, sebelum, selama,
dan sesudah kejang.
·
Catat tipe dari aktivitas kejang dan
beberapa kali terjadi.
·
Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda
vital setelah kejang.
·
Lindungi klien dari trauma atau kejang.
·
Berikan kenyamanan bagi klien.
·
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
therapi anti compulsan
2. Diagnosa
2: Resiko
tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuscular
Tujuan: Inefektifnya
bersihan jalan napas tidak terjadi
Kriteria hasil: Jalan napas bersih dari sumbatan, suara
napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal.
Intervensi:
·
Observasi tanda-tanda vital,
·
Atur posisi tidur klien fowler atau semi
fowler.
·
Lakukan penghisapan lendir, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapy
3. Diagnosa
3: Resiko
kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan: Aktivitas
kejang tidak berulang
Kriteria hasil: Kejang
dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal.
Intervensi:
·
Kaji factor pencetus kejang.
·
Libatkan keluarga dalam pemberian
tindakan pada klien.
·
Observasi tanda-tanda vital.
·
Lindungi anak dari trauma.
·
Berikan kompres dingin pda daerah dahi
dan ketiak.
4. Diagnosa
4: Kerusakan
mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
Tujuan: Kerusakan
mobilisasi fisik teratasi
Kriteria hasil: Mobilisasi fisik klien aktif , kejang
tidak ada, kebutuhan klien teratasi
Intervensi:
·
Kaji tingkat mobilisasi klien.
·
Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien.
·
Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan.
·
Latih klien dalam mobilisasi sesuai
kemampuan klien.
·
Libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan klien.
5. Diagnosa
5: Kurang
pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Tujuan: Pengetahuan
keluarga meningkat
Kriteria hasil: Keluarga mengerti dengan proses penyakit
kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan
dan kondisi klien.
Intervensi:
·
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
·
Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
·
Jelaskan pada keluarga klien tentang
penyakit kejang demam melalui penkes.
·
Beri kesempatan pada keluarga untuk
menanyakan hal yang belum dimengerti.
·
Libatkan keluarga dalam setiap tindakan
pada klien.
6. Evaluasi
·
Cidera / trauma tidak terjadi
·
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak
terjadi
·
Aktivitas kejang tidak berulang
·
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
·
Pengetahuan keluarga meningkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar